Krisis Manajemen Pertamina?

Belum lama ini Dirut Pertamina Elia Massa Manik harus meninggalkan jabatannya, setelah RUPS yang dihadiri Menteri BUMN Rini M. Soemarmo memutuskan untuk mencopotnya dari “kursi panas” tersebut. Padahal Elia Massa menjabat dirut baru satu tahun lewat sedikit.

Penjelasan pemerintah memang terkait pemecatan Elia Massa memang sangat normatif. Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno menyatakan pencopotan Elia merupakan masukan Dewan Komisaris Pertamina. Selain itu untuk mempercepat implementasi holding BUMN migas.

Selain itu, patahnya pipa Pertamina di Balikpapan juga menjadi pertimbangan Dewan Komisaris dalam merombak susunan direksi Pertamina. Kelangkaan BBM jenis Premium juga menjadi sorotan para pemegang saham. Lengkap sudah “dosa” Elia Massa selama di Pertamina.

Selain itu, ada empat direksi Pertamina lainnya yang juga dicopot dari jabatannya, antara lain Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Ardhy N Mokobombang, Direktur Pengolahan Toharso, Direktur Manajemen Aset Dwi Wajyu Daryoto, dan Direktur Pemasaran Korporat Muchamad Iskandar.

Menurut Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng, perombakan direksi Pertamina mengacu pada surat Nomor: SK-39/MBU/02/2018, tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, dan Pengalihan Tugas Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina.

Kunci di situ ada perubahan struktur dan nomenklatur. Tadinya hanya satu marketing menjadi tiga, yaitu Marketing Korporat, Marketing Ritel, dan Infrastruktur Supply Chain. Jadi ada tiga struktur baru yang tadinya hanya satu. Tak bisa dipungkiri, posisi Dirut Pertamina—dan tentu saja Direksi Pertamina lainnya–orang menyebutnya dengan posisi basah. Itu sebabnya banyak pihak yang berkepentingan, sehingga pada gilirannya menyebabkan seringnya gonta-ganti posisi.

Saking basahnya, membuat kursi Dirut Pertamina menjadi kursi panas. Selalu saja dicari kelemahan dan upaya untuk mengganti, bocor membocorkan data di internal direksi menjadi hal biasa. Tentu saja tujuannya bermacam motif dengan berbagai macam cara.

Kalau kita tengok sejarah Dirut Pertamina, memang penuh dinamika. Sejak Ibnu Sutowo menduduki Direktur Utama Pertamina periode 1968-1976 (8 tahun), posisinya kemudian digantikan oleh Piet Haryono hingga 1981 (5 tahun).

Jabatan Dirut Pertamina selanjutnya diduduki Joedo Soembono pada 1981 sampai 1984 (3 tahun) yang selanjutnya dilanjutkan oleh A. R. Ramli hingga 1988 (8 tahun). Estafet kepemimpinan tertinggi di perusahaan migas pelat merah berlanjut ke Faisal Abda’oe hingga 1996 (2 tahun). Selanjutnya Soegijanto memimpin Pertamina hingga 1998. Kemudian, Martiono Hadianto menjadi Dirut Pertamina, namun masa jabatannya tak panjang hanya sampai tahun 2000 saja (2 tahun).

Di tahun 2000 sampai 2003 Pertamina dipimpin oleh Baihaki Hakim (3 tahun) dan dilanjutkan oleh Ariffi Nawawi setahun hingga 2004 (1 tahun). Nama Widya Purnama masuk menjadi Dirut Pertamina hingga 2006 (2 tahun).

Ari Soemarno pada tahun 2006 menduduki Dirut Pertamina. Kakak kandung Menteri BUMN Rini Soemarno menjabat hingga 2009 (3 tahun) yang kemudian digantikan oleh Karen Agustiawan hingga 2014 (5 tahun). Selepas Karen, kursi nomor satu di Pertamina diduduki oleh Dwi Soetjipto hingga 2017 (3 tahun). Selanjutnya diduduki oleh Elia Massa Manik hingga 20 April 2018 (1 tahun). Posisi Elia kini sementara digantikan oleh Nicke Widyawati sebagai Plt.

Kabarnya kandidat Dirut Pertamina ke depan, setelah ada RUPS lanjutan, akan diisi oleh empat kandidat, yakni Nicke, Syamsu Alam (Direktur Hulu), Ahmad Bambang (mantan Wakil Dirut) dan Sofyan Basir (Dirut PLN). Tentu saja mereka orang yang mumpuni dibidangnya, tapi kemungkinan besar yang terpilih adalah yang “merasa” terdekat dengan penguasa dan mampu melayani keinginan penguasa.

Praktis, dalam sejarah Pertamina, Ariffi Nawawi dan Elia Massa saja yang menjabat hanya 1 tahun. Tingginya turn over posisi Dirut Pertamina bukan ada masalah pada si Dirut, tapi publik lebih menangkap adanya kesalahan dalam tata kelola perusahaan (good governance). Selain itu juga adanya kepentingan politik yang selalu mengintervensinya. Ini merupakan potret krisis manajemen sedang melanda BUMN migas tersebut.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…