Kemenperin Percaya Holding BUMN Migas Bisa Bantu Tingkatkan Utilitas Industri

Kemenperin Percaya Holding BUMN Migas Bisa Bantu Tingkatkan Utilitas Industri

NERACA

Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) optimistis dibentuknya perusahaan induk Badan Usaha Milik Negara (holding BUMN) sektor minyak dan gas bumi (migas) mampu menekan harga gas yang sangat dibutuhkan oleh industri nasional. Dengan harga gas yang terjangkau, Kemenperin percaya pelaku industri yang banyak mengonsumsi gas akan mampu meningkatkan utilisasi pabrik dan menjual lebih banyak lagi ke pasar ekspor.

Achmad Sigit Dwiwahjono, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin menyebut holding BUMN migas yang menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) ke tubuh PT Pertamina (Persero) sebagai holding, dilanjutkan dengan peleburan PT Pertamina Gas (Pertagas) ke tubuh PGN sebagai subholding yang mengurus bisnis gas Pertamina sebagai bentuk insentif bagi industri pengguna gas. Pasalnya, Achmad Sigit menilai harga gas bumi yang disalurkan melalui pipa bisa lebih terjangkau karena adanya integrasi aset pipa milik Pertagas dan PGN. Biaya operasional milik kedua perusahaan yang melebur menjadi satu pun bisa dihemat, serta anggaran investasi keduanya bisa dengan efektif digunakan karena tidak ada duplikasi pembangunan infrastruktur pipa distribusi dan transmisi ke depannya.

"Holding migas itu insentif. Kemenperin dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah berupaya menekan harga gas dengan mendorong efisiensi di sektor hulu migas, namun harga gas masih tinggi. Nah, holding migas ini bisa membantu memperbaiki harga gas dari sisi hilir yang tentunya sangat bermanfaat bagi pelaku industri," kata Achmad Sigit saat menjadi pembicara workshop yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) di Bogor, akhir pekan kemarin.

Ia mengatakan, usai pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, pelaku industri yang dijanjikan bisa membeli gas dengan harga US$ 6 per MMBTU sontak bersorak girang.

Tujuh sektor industri yang dijanjikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa mendapat harga gas rendah itu adalah industri pupuk, baja, petrokimia, oleochemical, keramik, sarung tangan, dan industri kaca. Namun, sampai akhir tahun lalu baru ada delapan perusahaan yang bergerak di industri baja, pupuk dan petrokimia yang sudah menikmatinya.

Delapan perusahaan yang bisa mendapatkan gas kurang dari US$ 6 per MMBTU itu adalah PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Kujang Cikampek, PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Petrokimia Gresik, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS), PT Kaltim Parna Industri, dan PT Kaltim Methanol Industri.

"Sebagian besar itu perusahaan milik negara, yang swasta malah belum dapat harga gas murah. Tahun lalu Kemenperin sudah merekomendasikan 86 perusahaan dapat insentif harga gas, tetapi sampai sekarang masih dalam tahap diskusi di Kementerian ESDM," kata Achmad Sigit.

Tingkatkan Produksi 

Padahal, jika seluruh perusahaan yang tersebar di tujuh sektor bisa cepat memperoleh kepastian harga gas yang lebih murah, Achmad Sigit meyakini seluruhnya mampu meningkatkan produksi. Karena kapasitas produksi pabrik dari setiap sektor belum dimanfaatkan secara maksimal.

Ia mencontohkan, industri pupuk urea memiliki kapasitas produksi 8,8 juta ton per tahun, namun baru 62,5 persen utilisasinya. Industri keramik memiliki kapasitas produksi 550 juta meter per segi per tahun, namun utilisasinya baru 60 persen.

"Industri keramik juga direpotkan oleh membanjirnya produk keramik China di pasar Indonesia. Mereka bilang ke saya, kalau harga gas turun maka utulisasi bisa ditingkatkan dan produk keramik Indonesia bisa bersaing secara harga dengan produk China. Banyak industri kita yang tidak bisa memenuhi 100 persen utilisasi produksi karena ada kendala harga gas yang tinggi. Padahal sektor manufaktur kita rata-rata lebih baik dari negara lain di Asean," keluhnya.

Muhammad Khayam, Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin menambahkan, saat ini rata-rata harga gas bumi dari trader ke industri adalah US$ 9 per MMBTU.

"Sementara yang diinginkan industri adalah US$ 7 per MMBTU. Jadi tidak harus US$ 6 per MMBTU. Rekomendasi dari Kemenperin adalah kurangi ekspor gas dan optimalkan pemanfaatan gas untuk industri dalam negeri," kata Khayam. Mohar

 

BERITA TERKAIT

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…