Mutasi PNS Hambat Perizinan

Proses percepatan perizinan berusaha dan berinvestasi di Indonesia tampaknya mudah diucapkan, namun sangat sulit diterapkan realisasinya di lapangan. Pasalnya, hingga saat ini masih banyak investor lokal maupun asing yang mengeluhkan proses perizinan baik di provinsi, kota maupun kabupaten.

Terbukti, Presiden Jokowi masih menargetkan percepatan proses perizinan berusaha dan berinvestasi harus bisa diterapkan pada Maret 2018. Hal ini menyusul rampungnya sistem perizinan terintegrasi atau single submission.

Jokowi mengungkapkan, sejauh ini dirinya telah melihat beberapa kementerian dan lembaga (K/L) telah memangkas regulasi dan aturan yang dinilai menghambat masuknya investasi ke dalam negeri. "Saya minta langkah ini terus diteruskan, dan dilanjutkan sampai ke provinsi, kabupaten dan kota," ujarnya.

Perintah Jokowi tersebut seharusnya segera ditindaklanjuti dengan pembuatan Perda atau peraturan menteri yang lengkap dengan tatacara teknis proses percepatan perizinan apapun di daerah. Selain itu, pemerintah juga tengah menggodok insentif yang bisa ditawarkan kepada para investor agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Insentif tersebut dapat berupa keringanan pembayaran pajak, seperti tax allowance maupun tax holiday.

Hanya persoalan sekarang, pejabat pelaksana di daerah siap atau tidak melakukan perubahan mindset pelayanan publik yang pada hakikatnya mempermudah segala urusan perizinan usaha. Yang ada sekarang baru sebatas slogan yang banyak terlihat di berbagai kementerian/lembaga berbunyi seperti “Jangan Berurusan dengan Calo” atau “Jangan Memberikan Uang Tips” dan sejenisnya, namun dalam realita di lapangan jauh berbeda dengan slogan di spanduk tersebut.

Buruknya birokrasi pelayanan publik tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi di negeri ini juga terungkap hasil survei lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong.  Menurut kalangan eksekutif bisnis asing (expatriats) dalam survei lembaga tersebut, birokrasi pelayanan publik di Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan beberapa tahun terakhir ini, meski lebih baik dibanding dengan kondisi di China, Vietnam dan India.

Hasil survei antara lain mengungkapkan, pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa menurut mereka, masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.

Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan reformasi.

Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2007 membaik, namun hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.

Ini menggambarkan informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi, karena kinerja belum dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh pemerintah. Tidak tersedianya informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai agenda kebijakan yang penting. Kinerja pejabat birokrasi tidak pernah menjadi pertimbangan yang penting dalam mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk menilai kinerja pejabat birokrasi sangat jauh relevansinya dengan indikator-indikator kinerja yang sebenarnya.

Akibatnya, para pejabat birokrasi tidak memiliki insentif untuk menunjukkan kinerja sehingga kinerja birokrasi cenderung menjadi amat rendah.Pemerintah terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerJa birokasinya. Misalnya, dalam menentukan anggaran birokrasinya, pemerintah sama sekali tidak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan atas input, bukan cutput. Harusnya anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yang akan diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakat di negaranya. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…