Pro dan Kontra Pilkada Langsung

Oleh: Sri Muryono

Banyaknya calon kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memunculkan sorotan tajam atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Amatlah mudah menebak klausul yang mendasari KPK melakukan penangkapan terhadap sejumlah calon kepala daerah yang sedang bertarung untuk menghadapi pilkada, 27 Juni 2018. Sejumlah calon kepala daerah itu ditangkap atas dugaan kasus korupsi.

Mereka yang ditangkap itu selain calon baru, juga petahana atau pejabat yang mencalonkan lagi. Mereka terdiri atas calon gubernur, bupati, dan wali kota. Setelah ada penangkapan secara beruntun, kini muncul perdebatan mengenai eksisten pelaksanaan pilkada secara langsung oleh rakyat. Satu pihak menilai pilkada langsung menyebabkan korupsi di birokrasi. Namun, di sisi lain muncul penilaian bukan pilkada langsungnya yang salah, melainkan fenomena ambisi kekuasaan yang menyebabkan korupsi.

Pemikiran dan gagasan yang muncul terkait dengan penangkapan sejumlah calon kepala daerah adalah menghentikan pilkada secara langsung, kmudian mengemb1alikan pemilihan kepala daerah pada sistem perwakilan atau melalui DPRD.

Untuk urusan ini, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo bersama Mendagri Tjahjo Kumolo secara khusus mendatangi KPK untuk mendikusikan hal itu pada bulan Maret 2018. KPK pun melakukan kajian mengenai pelaksanaan pilkada dan korelasinya dengan kasus korupsi kepala daerah.

Bambang Soesatyo mengemukakan bahwa KPK setuju dengan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD karena banyak persoalan yang ditimbulkan dari pelaksanaan pilkada langsung. Misalnya, maraknya kasus tindak korupsi menjelang pilkada. "Pak Nainggolan (Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan) menyampaikan, 'Mas kalau kembali ke DPRD, lebih baik karena kami mengawasinya lebih mudah'," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Jakarta, 10 April 2018.

Namun, Bambang mendapatkan penjelasan dari KPK melalui diskusi tidak resmi bahwa institusi tersebut sedang mendalami akar persoalan kepala daerah yang banyak terkena kasus korupsi karena sistem politik pemilihan langsung yang membutuhkan biaya tinggi. Akumulasi biaya tinggi itu, memicu calon kepala daerah mencari celah untuk mendapatkan stok logistik.

Usulan agar pilkada melalui DPRD berdasarkan realitas yang temui di daerah, yaitu pilkada langsung membutuhkan biaya tinggi. KPK pun prihatin indeks persepsi korupsi belum menunjukkan perbaikan.

Harus diakui bahwa mengembalikan pilkada ke sistem perwakilan (DPRD) akan ada yang protes karena dianggap demokrasi mundur. Akan tetapi, kembali kepada masyarakat apakah pilkada secara langsung banyak memberi manfaat pada masyarakat sesuai dengan demokrasi atau banyak mudaratnya.

Kalau kesimpulan masyarakat bahwa pilkada langsung memberikan banyak manfaat, silakan dilanjutkan. Sebaliknya, kalau merusak moral, harus dikaji kembali sistem pemilihan langsung tersebut.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri pun prihatin banyak calon kepala daerah dan petahana yang tertangkap karena kasus dugaan korupsi. Hal itu berpengaruh pada jalannya pemerintahan di daerah.

Kini, masalah itu dikembalikan ke parpol untuk melakukan pengkajian. Apa pun hasil kajian itu, DPR akan memutuskan. Yang ditegaskan adalah usulan pilkada melalui DPRD bukan untuk tujuan menguntungkan salah satu pihak. Yang mendasari kajian itu adalah adanya fenomena pemodal (pengusaha) yang mendanai pencalonan seseorang menjadi kepala daerah.

Saat ini diduga sudah banyak pemodal melakukan ekspansi ke daerah untuk memberikan modal kepada calon kepala daerah yang ingin maju di pilkada namun tidak memiliki dana memadai.

Berdaulat

Sebelum 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pilkada.

Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Dalam pilkada, masyarakat yang memiliki hak pilih bisa secara langsung memilih kepala daerahnya.

Masyarakat juga bisa mencermati visi dan misi calon kepala daerahnya. Selain itu, juga menyampaikan aspirasi secara langsung mengenai pembangunan di daerahnya. Dari sini, rakyat adalah penentu pemimpinnya. Tentu ada rasa bangga karena rakyat berdaulat atas pilihan menentukan pemimpin.

Dalam pelaksanaannya pun, pemerintah bersama DPR RI beberapa kali melakukan penyempurnaan aturan. Penyempurnaan dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Selanjutnya UU No. 8/2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Terakhir UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Dari sisi aturan tampaknya tidak masalah. Namun, eksesnya adalah kesempatan masyarakat pemilih kepala daerah secara langsung "didomplengi" kepentingan pemilik modal untuk tujuan bisnis. Momentum "pendomplengan" itu menemukan peluangnya di tengah ambisi seseorang menjadi kepala daerah. Padahal, ambisi itu tidak diimbangi dengan kemampuan finansial.

Yang terjadi kemudian adalah transaksi-transaksi politik dan bisnis. Di tengah ambisi politik dan bisnis yang mendasarkan pada perhitungan untung-rugi, jalan apa saja dilakukan untuk bisa meraih kemenangan, termasuk politik uang (money politics).

Kondisi ini yang dinilai berbagai kalangan sebagai penyimpangan dan penyelewengan maksud pilkada secara langsung. Pada kasus-kasus kepala daerah yang ditangkap KPK, kemudian diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi secara gamblang terurai adanya transaksi bisnis dan politik yang saling bertautan dalam hubungan simbiosis mutualisme. Intinya adalah terjadinya kolusi untuk mengembalikan modal pilkada. Caranya bisa macam-macam, dari pengadaan barang dan jasa, jual-beli jabatan, perizinan, dan konsesi perkebunan, serta pertambangan.

Dikembalikan Itulah sebabnya Wakil Ketua MPR Mahyudin setuju dengan wacana pemilihan kepala daerah tidak langsung atau melalui DPRD. Dengan dipilih DPRD biaya untuk menjadi kepala daerah itu murah, bahkan boleh dibilang gratis.

Selain itu, pengawasan juga lebih mudah karena tinggal mengawasi para anggota DPRD, misalnya, apabila dikhawatirkan terjadi politik uang. Kalau anggota DPRD ada 100 orang, KPK tinggal turunkan 200 orang, satu anggota DPRD diawasi dua orang, kemungkinan besar tidak terjadi suap.

Dengan demikian, akan benar-benar terpilih kepala daerah yang berkualitas dan berkomitmen membangun daerahnya. Namun, harus diakui pilkada langsung menelan biaya politik yang besar. Kalaupun tetap dipertahankan, biaya penyelenggaraan, termasuk biaya kampanye dan saksi tidak dibebankan kepada calon.

Satu kabupaten di Jawa Barat memiliki 70.000 tempat pemungutan suara (TPS). Jika untuk biaya saksi per TPS sebesar Rp100 ribu, dibutuhkan Rp7 miliar. Itu biaya saksi saja. Jadi, begitu mahal biaya demokrasi ini. Hal itu yang menyebabkan banyak kepala daerah akhirnya terjerat kasus korupsi. Pilkada langsung di tengah pendapat per kapita yang masih menengah, bahkan rendah tidaklah efektif.

Namun, bagi Wakil Ketua MPR RI Evert Ernest Mangindaan, wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD memerlukan kajian mendalam. Apalagi, pilkada yang dilakukan secara langsung maupun yang pelaksanaannya dikembalikan ke DPRD memiliki keunggulan dan kerugian masing-masing.

Kalau dipilih DPRD, Indonesia dibilang mundur. Untuk apa ada reformasi? Akan tetapi, kalau pemilihan langsung, banyak kepala daerah yang kena operasi tangkap tangan. Jadi, plus-minusnya ada.

Persoalan itu pun menimbulkan reaksi pro dan kontra di kalangan anggota legislatif serta tokoh-tokoh pegiat pemilu."Kalau masih ada yang pro atau kontra susah jadinya. Tidak semudah membalikan telapak tangan," katanya.

Namun, aspirasi masyarakat mengenai wacana untuk mengembalikan pelaksanaan pilkada kepada DPRD juga perlu didengar. Kalau itu diinginkan seluruh rakyat, mengapa tidak? Diperkuat Silang pendapat mengenai pilkada langsung itu mengapung dalam samudra opini masyarakat. Beragam pendapat pro dan kontra mewarnai laman-laman berita dan lembar koran atau majalah.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menilai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung perlu diperkuat dari tahun ke tahun, bukan justru dikembalikan ke DPRD. Kecenderungan memperkuat pilkada langsung terlihat dari penguatan lembaga penyelenggaraannya.

Tidak hanya KPU dan Bawaslu, tetapi ditambah lagi dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hal itu diarahkan untuk mewujudkan pilkada yang berkualitas dan bermartabat.

Kini, justru terdapat semangat untuk membuat pilkada makin murah untuk peserta, terbukti dengan sebagian dari metode kampanye dari peserta pilkada dibiayai oleh negara melalui KPU. Fakta ini menunjukkan tanda-tandanya tidak malah akan dikembalikan ke DPRD.

Bagi Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali, plkada secara langsung dapat memberikan dampak baik bagi sistem demokrasi Indonesia. Jika ada kekurangannya, aksesnya diperbaiki bukan mengganti sistemnya.

Kalau ada yang mengkritik terkait dengan biaya pilkada langsung, banyak poin yang bisa dihilangkan sehingga pelaksanaannya tidak menimbulkan biaya tinggi, tetapi bukan menghilangkan sistemnya.

Yang harus membenahi pelaksanaan pilkada langsung adalah partai politik, yaitu bagaimana memilih dan menghasilkan calon yang memiliki kemampuan memimpin, berkarakter kerakyatan dan punya konsistensi menjalankan program.

Amali yang juga politikus Partai Golkar itu menilai pilkada langsung selama ini telah menghasilkan pemimpin yang baik dan memiliki kemampuan memimpin serta mengangkat potensi daerahnya. Misalnya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Banyuwangi Azwar Anas, bahkan Joko Widodo yang pernah menjadi Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta.

Pilkada langsung yang bisa menjamin pelaksanaan demokrasi di negeri ini diyakini akan terlaksana sebagaimana layaknya sebuah proses demokrasi. Oleh karena itu, bukan permasalahan sistem pilkada yang salah, melainkan perlu mencari apa yang menyebabkan terlalu mahal.

Proses di internal parpol untuk memajukan seorang sebagai calon kepala daerah harus ketat dan pelaksanaannya sesuai dengan kebutuhan. Bukan karena seseorang sudah membayar mahal lalu diusung sebagai calon kepala daerah.Oleh karena itu, di Komisi II DPR RI tidak ada wacana untuk merevisi UU No. 10/2016. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…