Layanan KRL Kian Memburuk

Peningkatan kapasitas rute KRL Commuterline Jakarta Kota-Bekasi-Cikarang dan pengurangan frekuensi perjalanan Tangerang-Stasiun Duri telah membuat banyak penumpang kecewa. Pasalnya, penumpang yang setiap hari naik dari stasiun Bekasi merasakan adanya kekurangan gerbong KRL. Biasanya di pagi hari masih tersedia KRL di jalur 2 dan 3, namun setelah dibuka rute hingga Cikarang, gerbong KRL maupun jadwal perjalanan dari stasiun menjadi berkurang.

Hal yang sama juga dirasakan oleh penumpang dari Tangerang. Di waktu lalu jarak antar KRL (head away) masih di kisaran 5-15 menit, sekarang melebar menjadi rata-rata 30 menit sehingga mengakibatkan penumpukkan penumpang di stasiun Duri di pagi maupun sore hari. Penyebabnya, adanya KA Bandara yang menggunakan rel yang sama dengan KRL, sehingga mengurangi frekuensi perjalanan rute Tangerang-Duri.

Kita melihat pengelolaan KRL Commuterline saat ini terasa jauh lebih buruk dibandingkan 5-10 tahun yang lalu. Kementerian Perhubungan dan PT KAI/PT KCI selalu berdalih hal ini disebabkan meningkatnya kapasitas penumpang KRL di wilayah Jabodetabek belakangan ini. Lantas bagaimana sarana transportasi KRL yang digadang-gadang dapat menjalankan prinsip aman, nyaman dan tepat waktu, ternyata dalam praktiknya tidak beda jauh dengan lamanya perjalanan Bekasi-Jakarta menggunakan bus TransJakarta, yaitu sekitar 1,5-2 jam.  

Karena itu, saatnya manajemen PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) jangan berharap terus menerus mendapatkan kucuran PSO (public service obligation) dari pemerintah. Karena dulu sejarah pertama kali KRL beroperasi ditetapkan tarif yang moderat yaitu Rp 8.000 untuk rute Jakarta-Bekasi, dan Rp 9.000 untuk rute Jakarta-Bogor. Lucunya kondisi tarif sekarang menurun menjadi rata-rata Rp 4.000 untuk rute Jakarta-Bekasi maupun Jakarta-Bogor, bukankah ini malah menambah berat beban anggaran negara di tengah kondisi ekonomi nasional memprihatinkan saat ini?

Akibatnya, pengelola KRL Commuterline harus memutar otak antara lain dengan melakukan “penghematan” dengan mengurangi frekuensi perjalanan, dan mengurangi biaya perawatan regular. Saat ini kondisi pendingin (AC) di KRL banyak yang tidak berfungsi, sehingga membuat penumpang di dalamnya merasakan penderitaan "rutin" setiap hari di tengah kepadatan saat pergi dan pulang kantor.

Data KCI mencatat dari tahun ke tahun rata-rata volume penumpang KRL terus meningkat mulai 2013 hingga 2017. Pada 2013 tercatat sebanyak 431,886 penumpang, naik menjadi 566,530 penumpang pada 2014. Lalu naik lagi menjadi 705,556 penumpang pada 2015. Pada 2017 penumpang KRL mencapai 993,992.

Dari data kenaikan volume penumpang KRL tersebut, jelas beban negara memberikan subsidi (PSO) semakin membengkak. Nah, upaya mengatasinya tentu bukan “setengah hati” tetapi harus tuntas yaitu PSO dihapuskan atau tetap dipertahankan seperti saat ini. Kementerian Perhubungan harus jelas menentukan sikapnya ke depan.

Dan, tidak bisa membandingkan antara tatacara Kementerian Sosial menyalurkan bantuan non tunai ke masyarakat tidak mampu, memang sama sekali tidak bertujuan mencari keuntungan. Berbeda dengan PT KCI yang jelas-jelas bertujuan mendapatkan keuntungan dari kegiatan usahanya.

Pimpinan PT KCI hendaknya menyadari bahwa sejarah beroperasinya transportasi massal KRL di masa lalu memang dikenal dengan istilah “KRL Reguler/Ekspres” dan “KRL Ekonomi” yang sudah jelas ada perbedaan tarif ekonomi dan komersial. Jika KCI berharap ada kebijakan tarif khusus bagi masyarakat tidak mampu, berarti kebijakan itu mundur ke belakang. Repotnya lagi, nanti kebijakan PSO yang diperuntukan masyarakat tidak mampu tidak transparan datanya, dan berpotensi menimbulkan celah munculnya korupsi di tubuh anak perusahaan PT KAI itu.

Tidak hanya itu. Buruknya pemeliharaan sistem tiket elektronik (KMT) ternyata berdampak merugikan penumpang. Terbukti ribuan penumpang terpaksa harus bertindak kasar saat mereka diwajibkan membeli tiket kertas Rp 3.000 baik di stasiun Bogor maupun Bekasi (23/7/18). Padahal seharusnya manajemen PT KCI dapat melakukan upgrade sistem tiket elektronik di saat KRL tidak beroperasi pada Sabtu dan Minggu malam setelh Pk. 23.00, sehingga tidak mengganggu layanan operasional di pagi harinya.

 

Atau Kemenhub dapat menghidupkan kembali pola lama dengan istilah “KRL Ekonomi” bagi masyarakat tidak mampu, dan “KRL Reguler/Ekspres” khusus bagi masyarakat berpenghasilan mapan. Model seperti ini sebenarnya memberikan ruang pilihan bagi konsumen untuk memilih sarana transportasi KRL Commuterline yang sesuai dengan harapan pelayanan yang memadai, nyaman, aman dan tepat waktu.   

BERITA TERKAIT

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…